Lebih Jelas tentang Pembuatan Enzim alias Premix

Di pasaran, Enzim yang saya maksud di sini dikenal juga dengan istilah Premix. Banyak dijual, termasuk secara online. Harganya lumayan.

Premix adalah campuran berbagai bahan pakan, seperti vitamin, mineral, asam amino, dan lainnya, yang disesuaikan untuk kebutuhan nutrisi hewan tertentu. Sementara Enzim adalah molekul protein yang membantu dalam pencernaan dan penyerapan nutrisi dalam tubuh hewan. 

Premix atau enzim yang ditambahkan ke pakan ternak, termasuk unggas, bertujuan untuk meningkatkan kualitas pakan, pencernaan, dan kesehatan hewan, serta memaksimalkan pertumbuhan dan produksi.

Enzim atau Premix seringkali hanya difokuskan pada asam amino esensial, yg harus dijadikan fokus perhatian dalam pemberian pakan untuk ternak. 

Berikut ini cara membuat Premix/Enzim dan cara menggunakannya, sebagaimana saya peroleh dari berbagai sumber, terutama dari Kang Ahmad Dayari, formulator pakan asal Talaga Majalengka.

*Bahan:*
- 1 kg maggot segar/keong/lele/gabus/telur infertil (pilih salah satu) 
- 1 kg nanas/pepaya/daun pepaya (pilih salah satu) 
- 1 kg gula merah/molase/tetes tebu/gula pasir (pilih salah satu) 
- 1 botol yakult/ 2 tutup botol em4/ 1 butir ragi tape/ 5 gr permifan/ probiotik buatan sendiri (pilih salah satu) 

*Catatan:* Untuk bahan² di atas, cari dan pilih salah satunya, yg paling murah dan mudah saja.
 
*Cara mengolah:*
- Blender bahan no1 dan 2 (jangan campurkan dengan air)
- Lalu, semua bahan dimasukan ke dalam jerigen, dan peram untuk proses fermentasinya dalam jerigen atau wadah tertutup lainnya, minimal selama dua minggu -- semakin lama semakin bagus. Syukur bisa 30 hari.

*Cara pakai:*
- Campur 2 tutup botol (20 ml) dari larutan Enzim/Premix tadi ke dalam tiap 1 kg pakan. Campurkan secara merata. Agar lebih mudah mencampurnya, awalnya campur 2 ml cairan tersebut dengan 1-2 genggam pakan/dedak, lalu hasil campuran dedak ini barulah dicampurkan ke 1 kg pakan.
- Untuk tambahan jamu herbalnya, bisa ditambahkan bubuk jahe, kunyit, temulawak, sebanyak 2 gr/kg pakan.

*Penjelasan*:
- Setelah diberi Premix tersebut, jangan kaget kalau ayam bebas dari nyilet, nafsu makannya meningkat, dan bobotnya pun cepat naik.
- Itu terjadi karena, bahan² tersebut mengandung 16 asam amino esensial, yang akan membuat protein pada pakan terserap secara sempurna oleh tubuh, dan tidak ada yang terbuang sia-sia lewat kotoran.
- Tanpa asam amino esensial yang lengkap, pakan dengan protein setinggi 23% sekalipun, yang terserap paling hanya beberapa persennya saja. Sisanya terbuang percuma lewat kotoran, yang pada akhirnya membuat kotoran berbau busuk, amoniak naik, ayam kena snot, hingga akhirnya pada sakit semua. Tingginya amoniak bukan hanya tidak enak dicium manusia, tapi juga membuat ayam kita sakit karena tercemar bebauan tak sedap. 

*Sudah, setelah ini tidak usah beli premiks lagi. Bikin sendiri saja seperti cara di atas. Semoga bermanfaat dan penuh berkah.*

~ Ahmadie Thaha
Ma'had Tadabbur al-Qur'an Manglayang, Sukabumi
Share:

Innalillah, Cak Farid Poniman

Lama tak terdengar kabar beritanya, tiba-tiba kami dikejutkan oleh berita kewafatannya yang pagi ini beredar dengan segera di berbagai platform media sosial: 

"Innalillahi wa innailaihi raji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Farid Poniman bin Moh Sjafi'i, pada hari Sabtu, 27 Januari 2024, pukul 02.30 WIB di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Jenazah akan dimakamkan di Bandung pada pukul 11.00 WIB."

Kepergian Cak Farid Poniman, begitu kami memanggilnya, meninggalkan duka yang mendalam bagi kami, para sahabat dan keluarganya. Kami kehilangan sosok yang begitu baik, yang rendah hati, dermawan, dan berjiwa sosial tinggi.

Cak Farid lahir di Pamekasan Madura pada 17 Mei 1965. Berarti usianya di saat wafatnya, 59 tahun. Ia berkiprah lama di dunia media. Dia termasuk salah seorang yang berdedikasi di Harian Umum Republika, di mana ia menjabat sebagai Manajer Iklan yang sukses.

Setelah meninggal bisnis media, dia bersama rekan-rekannya terjun ke bidang pelatihan manajemen. Wajahnya yang penuh senyum, perawakannya yang tinggi, dilengkapi konsep manajemen khas yang dikembangkannya, menjadi modal utamanya.

Selain itu, semasa hidupnya, Cak Farid juga mendirikan sejumlah pesantren tahfidz di beberapa kota. Terakhir, dia lebih banyak tinggal di Bandung, di mana dia juga mengembangkan pesantren tahfidz dengan model pendidikan yang khas.

Dalam hal itu, ia dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan sesama. Ia tidak pernah memikirkan dompet sakunya sendiri. Semua uang yang didapatnya biasanya langsung dihabiskan untuk membiayai beberapa pesantren tahfidz binaannya.

Cak Farid memang cukup berada melalui usaha pelatihan pengembangan diri, yang disebutnya Kubik. Sebagian besar waktunya dihabiskannya untuk melatih manajemen Kubik, sebuah sistem manajemen pengembangan diri yang dikembangkannya. Cak Farid bahkan sampai bergerak ke negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei untuk menyebarkan sistem Kubik-nya.

Belakangan, setelah mengikuti presentasi tentang sistem pengenalan diri MBTI, Cak Farid tertarik mengembangkan model pengenalan dirinya yang unik, yang diramu dari konsep MBTI dan disesuaikan dengan konsep Kubik. Dari sini kemudian lahirlah sistem asesmen pengenalan diri dan bakat yang disebutnya STIFIn.

Sistem ini dibuatnya berbentuk sebuah aplikasi, yang dikembangkannya bersama M. Nur Sinyo, programmer bertalenta yang sama-sama berasal dari Madura. Ia menjual asesmen STIFIn kepada masyarakat dengan sistem seperti MLM hingga tersebar secara luas.

Dengan model pengembangan diri yang dikembangkannya, Cak Farid telah membantu banyak orang, khususnya anak-anak sekolahan, untuk mengenali diri mereka sendiri dan mengembangkan potensinya. Dia sangat berharap agar sistem STIFIn dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Cak Farid Poniman termasuk tokoh yang sangat inspiratif. Ia telah meninggalkan jejak yang sangat berharga bagi kita semua. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan ia mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Wafatnya Cak Farid Poniman merupakan kehilangan yang besar bagi kita semua. Ia sosok yang sangat baik hati, dermawan, dan berjiwa sosial tinggi. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan ia mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya, dilapangkan alam barzakh kuburnya, dan dilempangkan jalannya menuju Surga-Nya. Amin

@ ahmadie thaha 
pancoran/27012024
Share:

Menghindari Permusuhan

Said Nursi, seorang tokoh pemikir Islam asal Turki, menulis anekdot kisah dirinya dalam kitabnya, al-Maktubat (halaman 448-450). Dia mengaku pernah mengalami suatu kasus yang pantas untuk direnungkan. 

Suatu hari, Said Nursi melihat ilmuwan mengkritik seorang ulama sampai-sampai bersikap ekstrem berani mengafirkannya. Kritiknya itu dipicu oleh perselisihan di antara keduanya dalam soal politik. 

Namun, ini yang membuat Said Nursi begitu kecewa: pada waktu yang sama, sang ilmuwan justru memuji seorang munafik yang memiliki kesamaan pandangan politik dengannya. Si ulama dibenci, sementara si munafik dipuji, hanya karena perbedaan sikap politik.

Said Nursi mengaku, peristiwa tersebut benar-benar menggoncang dirinya, sampai-sampai dia melontarkan perkataan yang sebetulnya kurang pantas:
أعوذ بالله من الشيطان والسياسة.
"Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan dan fitnah politik." Sejak saat itu pula, Said Nursi menarik diri dari kancah politik. Seolah-olah politik itu musuh seperti setan, padahal tidak demikian halnya.

Kisah ini mencerminkan pandangan Said Nursi terhadap bahaya permusuhan serta fitnah politik partisan dalam kehidupan pribadi siapa saja. Padahal, politik tidaklah buruk semuanya, asalkan tidak dikotori dengan permusuhan.

Said Nursi menggambarkan permusuhan sebagai sesuatu yang dapat merusak hakikat hidup, dan dia menekankan betapa penting bagi kita menghindarinya. Buanglah jauh-jauh permusuhan dari diri kita, sekecil apa pun bentuknya.

Al-Hâfizh Syirazî disitirnya berkata, "Sesungguhnya dunia beserta isinya bukanlah barang berharga yang pantas diperselisihkan." Said Nursi mengajak kita untuk merenungkan bahwa bahkan dunia yang besar sebenarnya tidaklah sebanding dengan konflik kecil.

Dalam pandangannya, kedamaian dan keselamatan tergantung pada perlakuan baik terhadap kawan dan bijaksana terhadap lawan. Termasuk di bidang politik, yang seolah mesti selalu didasari permusuhan demi kemenangan.

Said Nursi juga menekankan bahwa memaafkan dan berlaku adil terhadap lawan merupakan kunci untuk mempertahankan kedamaian.

Meskipun Said Nursi menyadari bahwa terkadang sulit untuk menghindari permusuhan, dia menunjukkan bahwa kesadaran akan kesalahan dan kekurangan dapat menjadi bentuk taubat maknawi. 

Penyesalan yang dirasakan meski hanya secara tersirat, dan permohonan ampun atau istigfar maknawi, itu dianggapnya cukup dijadikan sebagai langkah menuju pembebasan dari akibat buruk permusuhan.

Melalui kisah pribadinya tadi, Said Nursi menyoroti fitnah politik dalam mengubah pandangan dan tindakan seseorang. Pengalamannya melihat seorang ilmuwan membenarkan orang munafik hanya karena adanya kesamaan pandangan politik membuat Said Nursi berujar, "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan dan fitnah politik." Ia pun saat itu memilih untuk menjauh dari kancah politik sebagai respons terhadap kesalahan moral tersebut.

Secara keseluruhan, Said Nursi mengajak kita untuk menghindari permusuhan, mengutamakan kedamaian, dan menyadari dampak negatif politik pada pandangan dan perilaku. Kisah dan ajarannya menjadi panggilan untuk menjaga hati dari sifat permusuhan dan godaan politik demi keharmonisan hidup. (Ahmadie Thaha, Ma'had Tadabbur al-Qur'an)
Share:

Media Jadul Merajai TikTok

Oleh Ahmadie Thaha
Ma'had Tadabbur al-Qur'an

Perubahan revolusioner terjadi ketika Daily Mail, yang dikenal sebagai Mail Online, memasuki dunia TikTok, mengalami transformasi total menjadi media yang dicintai oleh Generasi Z. Awalnya, Daily Mail hanya koran cetak jadul pilihan utama kalangan tua berusia rata-rata 56 tahun. Namun, sekarang, mereka tak hanya berusaha mencapai pembaca dari kelompok umur tersebut, tapi berusaha menjangkau setiap generasi dalam sebuah keluarga, dan TikTok menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi mereka.

Adaptasi dan penyesuaian, itulah kata kunci dari perubahan ini. Daily Mail tidak hanya berpikir mempertahankan basis pembaca lama, tapi juga berani mengambil risiko untuk berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kesuksesan mereka dalam bertransformasi menjadi penerbit berita terbesar di TikTok sekali lagi membuktikan bahwa inovasi dan adaptasi merupakan kunci utama untuk menarik perhatian generasi baru dan mempertahankan relevansi di dunia media yang terus berubah.

Keputusan untuk melibatkan mantan Perdana Menteri Boris Johnson sebagai bintang TikTok yang tak terduga membawa dampak positif yang signifikan. Video promosi yang direkam untuk mendukung kolom mingguannya sangat populer di platform tersebut, menghasilkan peningkatan jangkauan Daily Mail lebih dari 1.500 persen dalam enam bulan terakhir. Bahkan, pada 4 Oktober, ia mengklaim sebagai penerbit berita terbesar di TikTok.

TikTok telah menjadi bagian dari strategi Daily Mail sejak kuartal pertama tahun 2020. Namun, strategi ini diperkuat dengan penunjukan Lucy White sebagai pimpinan TikTok global pada tahun 2022, dan semakin diperkuat dengan kedatangan Phil Harvey sebagai Kepala Video Sosial pada Maret tahun ini.

Phil Harvey menjelaskan bahwa investasi mereka di TikTok dan dalam podcast adalah bagian dari upaya untuk menjaga keberlanjutan bisnis. Ini bukan hanya tentang mencapai audiens yang berbeda, tetapi juga tentang membawa merek dan jurnalisme mereka kepada seluas mungkin orang, termasuk generasi yang belum pernah mereka jangkau sebelumnya.

Harvey menyoroti bahwa transformasi ke TikTok memberikan wawasan baru tentang bagaimana Generasi Z mengonsumsi konten berita. Untuk itu, mereka tak hanya memahami bahasa dan gaya unik TikTok, tapi juga memahami pentingnya menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi dan minat Generasi Z. Keterlibatan aktif dengan komentar dan tren menunjukkan pentingnya keterbukaan dan responsif terhadap audiens baru.

Dengan kata lain, Daily Mail berhasil membuktikan bahwa media warisan seperti mereka dapat beradaptasi dan berhasil terlibat dengan generasi yang lebih muda melalui pendekatan inovatif dan berani. Ini menegaskan bahwa fondasi yang kuat dapat menjadi batu loncatan untuk transformasi dan kesuksesan di era digital yang terus berkembang.

Penting dicatat bahwa Daily Mail memperluas jangkauannya di TikTok dengan cerdas memanfaatkan format konten yang sesuai dengan minat audiens, termasuk berita lokal, kejahatan, olahraga, dan hiburan. Mereka dapat menarget minat audiens lebih tepat melalui sub-feed yang disediakan. Strategi ini memungkinkan mereka berinteraksi dengan audiens baru secara efektif dan membangun merek mereka melalui format komunikasi yang disukai Generasi Z.

Daily Mail dengan jadwal ketat terus memproduksi konten dengan gaya dan bahasa yang sesuai dengan TikTok. Mereka umumnya membuat video berita singkat yang menyajikan informasi penting tentang berita terbaru dengan gaya yang ceria, menggunakan musik dan efek visual khas TikTok. Mereka juga memperkenalkan rubrik-rubrik khusus seperti "Trendy News of the Day" yang memuat konten yang sedang viral di TikTok.

Perubahan ini memberikan pelajaran berharga tentang betapa pentingnya adaptasi media tradisional untuk mencapai generasi baru. Diversifikasi dan inovasi dalam strategi pemasaran menjadi sangat penting untuk memastikan relevansi dan daya saing dalam era digital. Menggunakan platform yang sesuai dan memahami bahasa serta minat audiens, itulah kunci untuk sukses dalam mencapai target yang lebih luas.

Perjalanan transformasi Daily Mail ke TikTok bermula dari upaya mereka merespons pergeseran tren konsumsi berita. Generasi Z, yang tumbuh dengan cepat, membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam mendapatkan informasi. Mereka lebih suka konten yang ringkas, tajam, dan mudah dicerna, sesuai dengan gaya hidup mereka yang serba cepat dan singkat. Daily Mail menyadari bahwa untuk terus eksis, relevan, bahkan dapat memperluas jangkauan, mereka harus memasuki dunia di mana Generasi Z menghabiskan sebagian besar waktu online: TikTok.

Pada kenyataannya, platform media sosial seperti TikTok memang telah menjadi wadah penting untuk menyebarkan informasi dan konten, khususnya di antara Generasi Z. Generasi ini tumbuh dalam era di mana teknologi dan konektivitas online menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Karena itu, adaptasi ke platform seperti TikTok bukan hanya pilihan, melainkan suatu keharusan untuk mempertahankan relevansi dan daya saing.

Keberhasilan Daily Mail di TikTok juga menegaskan pentingnya konten yang dapat terhubung dengan audiens secara emosional dan menghibur. TikTok memungkinkan media untuk berkolaborasi dengan tren dan budaya populer, memastikan konten mereka relevan dan menarik bagi audiens yang lebih muda. Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi media lain untuk memahami bahwa berubah dengan cepat sesuai dengan kebutuhan dan preferensi audiens adalah kunci untuk mencapai kesuksesan di era media digital yang dinamis.

Harvey menekankan bahwa, selain di TikTok, Daily Mail ingin membangun audiens di berbagai platform, termasuk melalui podcast. Hal ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi. Media modern harus mempertimbangkan berbagai jalur untuk menyampaikan konten mereka, karena setiap platform memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi cara audiens mengonsumsi informasi. Kini, membawa berita ke lingkungan mobile melalui podcast atau menyajikannya dalam format singkat di TikTok adalah bagian integral dari strategi media yang efektif.

Langkah pertama transformasi Daily Mail dimulai dengan memahami bahasa dan gaya unik TikTok. Tim Daily Mail dengan cermat mempelajari tren, meme, dan format yang populer di platform ini. Mereka memahami bagaimana suara, efek visual, dan transisi berkontribusi pada daya tarik konten. Hal ini memungkinkan mereka menciptakan "TikTok edits" yang menarik dan menghibur, sesuai dengan selera dan preferensi audiens Generasi Z.

TikTok bukan hanya soal format. Pengelola Daily Mail juga menyadari, betapa penting di TikTok menyajikan konten yang menarik dan bervariasi. Mereka mengembangkan berbagai jenis konten, seperti eksplainer, wawancara di jalan, dan eksperimen sosial. Misalnya, satu produser Daily Mail berkeliling di jalanan New York dengan mengenakan kaos bergambar mugshot Donald Trump pada hari berikut setelah mugshot tersebut dirilis, dan merekam reaksi masyarakat. Pendekatan ini memberikan nuansa baru pada cara menceritakan berita dan membuatnya lebih menarik bagi audiens TikTok.

Namun, perubahan ini tidak hanya terbatas pada produksi konten. Organisasi harus memastikan bahwa seluruh tim memahami perubahan budaya dan mengadopsi pendekatan baru yang dibutuhkan. Daily Mail membentuk tim khusus yang mencerminkan sasaran audiens mereka, dengan 50 persen terdiri dari jurnalis dan 50 persen sisanya dari spesialis media sosial. Tim ini terus berkembang, fokus pada produksi konten yang terstruktur dengan bimbingan data untuk memperoleh keputusan editorial yang tepat.

Sekali lagi, transformasi ini memberi kita pelajaran betapa pentingnya fleksibilitas dan inovasi dalam dunia media. Perubahan cepat dalam preferensi konsumen mengharuskan perusahaan beradaptasi dan mencari cara baru untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Investasi dalam riset dan pemahaman mendalam tentang platform baru seperti TikTok merupakan kunci untuk sukses menciptakan koneksi yang relevan dengan audiens baru, seperti Generasi Z.

Namun, tidak hanya memproduksi konten dengan gaya yang sesuai dengan TikTok, Daily Mail juga berfokus pada interaksi dengan audiensnya. Mereka memahami pentingnya keterlibatan dan respons terhadap komentar, pesan, dan tren yang muncul di TikTok, platform yang digunakannya. Respons positif dari Generasi Z menjadi penegas bahwa perubahan strategi ini berhasil, terbukti banyak komentar memuji gaya dan konten baru yang dihadirkan. Hal ini membuktikan Daily Mail berhasil membina hubungan positif dengan audiens baru mereka.

Menurut analisis Press Gazette, Daily Mail berhasil mengukuhkan posisinya di media sosial. Mereka telah mampu mengambil langkah progresif dalam mendiversifikasi strategi pemasaran mereka dengan memasuki ranah TikTok, platform yang popular di kalangan Generasi Z. Daily Mail berhasil menjadi penerbit berita terbesar di TikTok, dengan jumlah pengikut yang signifikan. Hal ini menunjukkan keberhasilan adaptasi mereka terhadap perubahan tren konsumsi berita, memperluas jangkauan mereka ke generasi muda.

Hanya saja, informasi spesifik mengenai pendapatan Daily Mail dari keterlibatannya di TikTok, termasuk perkiraan angka perolehan pemasukan per tahun, tak tersedia datanya. Namun, pemasukan yang diperoleh Daily Mail dari keterlibatan di TikTok dapat dipastikan berasal dari beberapa sumber. Salah satu sumber potensial adalah iklan. TikTok memiliki berbagai model iklan, seperti iklan tampilan, iklan video, dan sponsor konten, yang memungkinkan penerbit untuk mendapatkan penghasilan dari promosi dan kemitraan dengan merek.

Yang pasti, selain itu, Daily Mail juga dapat mengarahkan lalu lintas dari TikTok ke situs web mereka, meningkatkan lalu lintas dan kemungkinan konversi ke pembaca berlangganan atau pembaca yang mengakses konten premium mereka, yang dapat menjadi sumber pendapatan tambahan.

Dalam konteks media tradisional yang sering disebut sebagai "legacy publisher," Daily Mail memberikan contoh sukses bahwa warisan dan adaptasi tidak saling mengecualikan. Media yang telah ada lama dapat mengambil risiko dan memasuki ranah baru dengan keberhasilan yang luar biasa. 

Ini membuktikan bahwa transformasi adalah tentang kesediaan bereksperimen dan menciptakan cara baru untuk terhubung dengan audiens, bahkan di luar zona kenyamanan. Media warisan memiliki kesempatan untuk memimpin perubahan dan mempertahankan posisi utama mereka di dunia digital yang terus berkembang.

(Ahmadie Thaha)

(Ahmadie Thaha)
Share:

Sepuluh Mitos tentang Israel

Oleh Ahmadie Thaha
Ma'had Tadabbur al-Qur'an, Manglayang Sukabumi & Gadog Bogor

Jarang sarjana Israel bersikap objektif tentang konflik Israel-Palestina. Di antara yang sedikit itu adalah Ilan Pappé. Dia dipuji oleh John Pilger sebagai "sejarawan Israel yang paling berani, paling berprinsip, dan paling tajam." New Statesman mensejajarkan Pappé dengan Edward Said, penulis paling fasih tentang sejarah Palestina. Dia "menulis tentang sisi Palestina dengan pemahaman dan empati yang nyata," tulis Avi Shlaim di Guardian.

Salah satu karya utama Ilan Pappé , "Ten Myths About Israel," disebut-sebut sebagai panduan sangat berguna bagi orang-orang yang baru mengenal perjuangan pembebasan Palestina. Tapi, buku ini sebetulnya lebih dari itu. Seperti banyak karya Pappé lainnya, buku ini mengupas sisi-sisi culas yang dipropagandakan Israel secara besar-besaran di media massa.

"Ten Myths about Israel" tersedia secara gratis sebagai buku elektronik di situs web Verso (https://www.versobooks.com/en-gb/products/370-ten-myths-about-israel). Dalam buku revolusioner ini, yang diterbitkan pada ulang tahun ke-50 Pendudukan, Ilan Pappé sebagai sejarawan Israel yang tegas dan radikal memeriksa gagasan-gagasan yang paling kontroversial tentang asal-usul dan identitas negara Israel kontemporer.

"Sepuluh mitos" yang dieksplorasi Pappé — yang diulang terus-menerus di media, diperkuat oleh militer, dan diterima tanpa pertanyaan oleh banyak pemerintah di seluruh dunia — memperkuat status quo regional. Dia mengeksplor klaim bahwa Palestina adalah tanah kosong pada saat Deklarasi Balfour, serta membedah pembentukan Zionisme dan peran pentingnya dalam beberapa dekade awal pembangunan negara.

Kata Rod Such dari Electronic Intifada, buku "Ten Myths about Israel" itu juga "berusaha menjelaskan secara sederhana bagaimana mitos dan propaganda mendasar Israel yang memperpetuasi penindasan rakyat Palestina." Disimpulkannya, buku ini mutlak harus dibaca oleh mereka yang tertarik memahami hakikat Israel berbasikan fakta-fakta sejarahnya yang tak terbantahkan.

Dalam menulis karyanya yang luar biasa ini, Ilan Pappé tanpa rasa takut memeriksa gagasan-gagasan kontroversial seputar asal-usul dan identitas negara Israel kontemporer, sambil memeriksa secara kritis masa lalu, saat ini, dan masa depan. Dalam eksplorasinya yang mendalam ini, Pappé secara cermat membongkar sepuluh mitos yang tertanam dalam kesadaran kolektif dan telah lama memperpetuasi serta membentuk pemahaman kita tentang konflik Israel-Palestina.

Fokus pada kesalahan masa lalu, Pappé menemukan enam pemahaman keliru yang masih bercokol dan bertahan di benak banyak orang. Mitos pertama berpendapat bahwa Palestina adalah tanah yang kosong, klaim yang secara sistematis dibantahnya dengan menyelami catatan sejarah. Mitos kedua menyebut bahwa orang Yahudi adalah kaum tanpa tanah, suatu gagasan yang Pappé tanggapi dengan perspektif nuansa yang menantang kebijakan umum.

Mitos ketiga menanamkan anggapan bahwa Zionisme identik dengan Yudaisme, sebuah kesalahpahaman yang Pappé telaah untuk mengungkap dasar-dasar anggapan yang salah tadi. Dia juga menyangkal pernyataan bahwa Zionisme bukanlah kolonialisme. Eksplorasi Pappé meneliti pembentukan Zionisme dan peran instrumentalnya dalam fase awal pembangunan negara Israel yang didasari kolonialisme alias penjajahan.

Mitos kelima mengklaim bahwa penduduk Palestina dengan sukarela meninggalkan tanah air mereka pada tahun 1948, sebuah narasi yang Pappé tolak dengan mengambil informasi dari catatan sejarah dan kesaksian nyata dari lapangan. Mitos keenam berkisar pada keyakinan bahwa Perang Juni 1967 merupakan konflik yang terpaksa terjadi "tanpa pilihan," suatu asumsi yang dia teliti secara ketat.

Pappé kemudian memfokuskan pada kesalahan-kesalahan saat ini. Untuk ini, dia menyoroti tiga mitos umum yang terus membentuk wacana tentang Israel, yang dikembangkan melalui seluruh jalur intelektual dan media massa dukungan Israel. Mitos nomor tujuh menggalang anggapan bahwa Israel merupakan satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah, klaim yang dia telaah melalui lensa politik dan kebijakan kontemporer.

Mitos kedelapan berkaitan dengan Perjanjian Oslo dan mitos-mitos seputar momen krusial ini dalam konteks dan proses perdamaian Israel-Palestina. Mitos nomor sembilan menyangkut kontroversi dan kesalahpahaman berkelanjutan seputar Gaza dan dinamika yang memicu konflik di sana. Buku ini juga membongkar kegagalan Perjanjian Camp David dan alasan resmi di balik serangan terhadap Gaza.

Selanjutnya, dalam melihat ke depan, Pappé menyajikan mitos terakhir, yang kesepuluh. Dia menantang kepercayaan yang sangat diterima secara luas bahwa solusi dua negara merupakan satu-satunya jalur yang layak. Untuk tantangannya ini, dia mengemukan argumen bahwa solusi dua negara ke depannya mungkin sudah tidak bisa lagi dijadikan opsi praktis. Pappé menjelaskan mengapa solusi dua negara tidak lagi layak.

"Ten Myths about Israel" merupakan sumber inovatif dan tak dapat diabaikan bagi siapa pun yang ingin lebih memahami kompleksitas konflik Israel-Palestina. Narasinya telah mengungkap kebenaran tersembunyi di balik mitos-mitos dusta tentang Israel yang disebar secara masif dan terencana. Narasi yang merajalela ini telah membentuk wacana publik, citra media, bahkan kebijakan internasional, hingga memperpetuasi status quo regional.
 
Melalui karyanya, Pappé dengan keras menyeru kita untuk mengevaluasi kembali keyakinan yang mapan, dan mengajak kita membayangkan kemungkinan perdamaian yang adil dan berkelanjutan di wilayah tersebut. Berikut saya akan mengurai kesepuluh mitos tentang Israel tersebut, dengan mengutip tulisan Ilan Pappé yang dimuat sebagai salah satu judul di buku "Gaza in Crisis" karya Noam Chomsky dan Ilan Pappé.

Ilan Pappé menulis: Setiap upaya untuk menyelesaikan konflik harus menyentuh inti konflik itu sendiri; inti tersebut, lebih sering daripada tidak, terletak pada sejarahnya.
 
Sejarah yang didistorsi atau dimanipulasi dapat menjelaskan dengan baik kegagalan untuk mengakhiri konflik, sedangkan pandangan yang jujur dan komprehensif terhadap masa lalu dapat memfasilitasi perdamaian dan solusi yang berkelanjutan. Sejarah yang didistorsi sebenarnya dapat lebih merugikan, seperti yang ditunjukkan oleh studi kasus Israel dan Palestina: dapat melindungi penindasan, kolonisasi, dan pendudukan.

Penerimaan luas di dunia terhadap narasi Zionis didasarkan pada serangkaian mitos yang pada akhirnya meragukan hak moral, perilaku etis, dan peluang perdamaian yang adil bagi Palestina. Alasannya, mitos ini diterima sebagai kebenaran oleh media utama di Barat, dan oleh elit politik di sana. Begitu diterima sebagai kebenaran, mitos ini menjadi pembenaran begitu banyak bukan untuk tindakan Israel, tetapi untuk kecenderungan Barat untuk campur tangan.

Berikut sepuluh mitos umum yang telah memberikan kekebalan dan perisai bagi impunitas dan kekejaman di tanah Palestina.

Mitos 1: Palestina adalah tanah tanpa penduduk, menunggu orang yang tanpa tanah

Mitos pertama adalah bahwa Palestina merupakan tanah tanpa penduduk yang menunggu orang yang tanpa tanah. Bagian pertama dari mitos ini berhasil dibuktikan palsu oleh sejumlah sejarawan yang sangat baik dan menunjukkan bahwa sebelum kedatangan para Zionis awal, Palestina sudah memiliki masyarakat yang berkembang, sebagian besar bersifat pedesaan tetapi dengan pusat perkotaan yang sangat hidup.
 
Inilah masyarakat seperti semua masyarakat Arab lain di sekitarnya, di bawah pemerintahan Ottoman dan bagian dari kekaisaran Ottoman, namun tetap menjadi masyarakat yang menyaksikan munculnya gerakan nasional yang sedang berkembang. Gerakan ini mungkin akan menjadikan Palestina sebuah negara bangsa seperti Irak atau Suriah, jika bukan karena kedatangan Zionisme di pantainya.

Bagian kedua dari mitos ini juga meragukan, tetapi kurang signifikan. Beberapa sarjana, termasuk orang Israel, meragukan hubungan genetik antara para pemukim Zionis dan orang Yahudi yang tinggal pada zaman Romawi di Palestina atau yang diasingkan pada saat itu. Ini sebenarnya kurang penting, karena banyak gerakan nasional menciptakan secara artifisial kisah kelahiran mereka dan menanamkannya dalam masa lalu yang jauh.
 
Namun, yang penting adalah apa yang akan Anda lakukan berdasar narasi ini. Apakah Anda membenarkan kolonisasi, pengusiran, dan pembunuhan atas nama kisah itu, ataukah Anda mencari perdamaian dan rekonsiliasi?
Tidak masalah apakah narasi itu benar atau tidak. Yang penting adalah bahwa itu keji jika, atas namanya, Anda melakukan kolonisasi, merampas hak milik, dan dalam beberapa kasus bahkan melakukan tindakan genosida terhadap orang pribumi dan asli.

Mitos 2: Palestina melakukan tindakan teror terhadap pemukim Yahudi sebelum terbentuknya Israel

Mitos kedua yang dibangun adalah bahwa Palestina, sejak awal, melakukan kampanye teror anti-Semitik ketika para pemukim pertama tiba dan hingga terbentuknya negara Israel. Padahal, seperti yang terlihat dari catatan harian para Zionis awal, mereka diterima dengan baik oleh masyarakat Palestina, yang memberi mereka tempat tinggal dan dalam banyak kasus mengajari mereka cara bercocok tanam.

Baru ketika jelas bahwa para pemukim ini tidak datang untuk tinggal bersama atau bersama populasi asli, melainkan menggantikannya, resistensi Palestina dimulai. Dan ketika perlawanan itu dimulai, yang terjadi tidak ada yang berbeda dari perjuangan anti-kolonialis lainnya.

Mitos 3: Mitos seputar pembentukan Israel

Mitos 3a: Palestina harus disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka karena menolak Rencana Pemisahan PBB tahun 1947.
Mitos 3b: Palestina meninggalkan rumah mereka secara sukarela atau sebagai hasil dari ajakan oleh pemimpin mereka.
Mitos 3c: Israel adalah David yang melawan Goliath Arab.
Mitos 3d: Setelah perang penciptaan negaranya, Israel mengulurkan tangan damai kepada Palestina dan tetangga Arabnya.

Mitos ketiga terdiri dari serangkaian dongeng Israel tentang perang tahun 1948. Ada empat mitos mendasar yang terkait dengan tahun ini. Pertama, bahwa Palestina harus disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka karena menolak rencana pemisahan PBB pada November 1947. Tuduhan ini mengabaikan sifat kolonial gerakan Zionis.
 
Kemungkinan besar, misalnya, bahwa Aljazair tidak akan menerima pemisahan Aljazair oleh para pemukim Prancis — dan penolakan semacam itu tidak akan dianggap tidak masuk akal atau irasional. Yang jelas secara moral adalah bahwa penolakan seperti itu, dalam kasus negara Arab lainnya, seharusnya tidak membenarkan pembersihan etnis terhadap Palestina sebagai "hukuman" atas penolakan rencana perdamaian PBB yang dirancang tanpa konsultasi dengan mereka.

Juga sama absurdnya adalah mitos bahwa Palestina meninggalkan rumah mereka secara sukarela atau sebagai hasil dari ajakan pemimpin mereka dan pemimpin negara Arab tetangga, yang konon untuk memberi jalan bagi pasukan Arab yang akan datang untuk membebaskan Palestina.
 
Tidak ada seruan seperti itu — mitos ini diciptakan oleh menteri luar negeri Israel pada awal 1950-an. Sejarawan Israel kemudian mengubah mitos tersebut dan mengklaim bahwa Palestina meninggalkan, atau melarikan diri, karena perang. Namun, yang sebenarnya adalah bahwa separuh dari mereka yang menjadi pengungsi pada tahun 1948 telah diusir sebelum perang dimulai, pada 15 Mei 1948.

Dua mitos lain yang terkait dengan tahun 1948 adalah bahwa Israel adalah David yang melawan Goliath Arab dan bahwa Israel, setelah perang, mengulurkan tangan damai, namun sia-sia, karena Palestina dan Arab menolak tawaran tersebut.
 
Penelitian pertama membuktikan bahwa Palestina tidak memiliki kekuatan militer sama sekali. Mengenai poin kedua, negara-negara Arab hanya mengirimkan kontingen pasukan yang relatif kecil ke Palestina, dan mereka lebih kecil ukurannya serta jauh kurang dilengkapi dan kurang terlatih dibandingkan dengan pasukan Yahudi.
 
Selain itu, yang sangat penting, adalah fakta bahwa pasukan ini dikirim ke Palestina setelah 15 Mei 1948, ketika Israel sudah diumumkan sebagai negara, sebagai respons terhadap operasi pembersihan etnis yang dimulai pasukan Zionis pada Februari 1948.

Mitos tentang tangan damai yang diulurkan, dokumen-dokumen menunjukkan dengan jelas kepemimpinan Israel yang intransigennya menolak membuka negosiasi mengenai masa depan Palestina setelah Mandat atau mempertimbangkan kembalinya orang-orang yang telah diusir atau melarikan diri.
 
Sementara pemerintah Arab dan pemimpin Palestina bersedia berpartisipasi dalam inisiatif perdamaian PBB yang baru dan lebih masuk akal pada tahun 1948, Israel malah membunuh perantara perdamaian PBB, Count Bernadotte, dan menolak saran Komisi Konsiliasi Palestina (PCC), sebuah badan PBB, untuk membuka kembali negosiasi.
 
Pandangan yang intransigen ini akan terus berlanjut; Avi Shlaim telah menunjukkan dalam bukunya "The Iron Wall" bahwa, bertentangan dengan mitos bahwa Palestina tidak pernah melewatkan kesempatan untuk melewatkan perdamaian, sebenarnya Israel terus menolak tawaran perdamaian yang ada di atas meja.

Mitos 4: Israel adalah negara demokratis yang baik sebelum tahun 1967

Mitos keempat adalah bahwa Israel merupakan negara demokratis yang baik, yang mencari perdamaian dengan tetangganya dan menawarkan kesetaraan kepada semua warganya, sebelum perang Juni 1967. Inilah mitos yang sayangnya disebarkan oleh beberapa sarjana Palestina dan pro-Palestina terkemuka — tetapi tidak memiliki dasar sejarah dalam fakta.

Seperlima dari warga negara Israel tunduk pada pemerintahan militer yang kejam berdasarkan peraturan darurat Inggris yang keras yang menyangkal hak asasi manusia dan hak sipil dasar bagi mereka. Dalam periode ini, lebih dari lima puluh warga Palestina tewas oleh pasukan keamanan Israel.
 
Pada saat yang sama, Israel mengejar kebijakan agresif terhadap tetangga Arabnya, menyerang mereka karena membiarkan para pengungsi mencoba kembali atau setidaknya mengambil kembali properti dan usaha ternak mereka yang hilang. Bersekongkol dengan Inggris Raya dan Prancis, Israel juga mencoba menggulingkan rezim sah Gamal Abdel Nasser di Mesir.

Mitos 5: Perjuangan Palestina tidak memiliki tujuan selain teror

Mitos kelima adalah bahwa perjuangan Palestina hanya sebatas terorisme dan tidak lebih dari itu. Padalah, perjuangan yang dipimpin oleh PLO merupakan perjuangan pembebasan melawan proyek kolonialis. Entah bagaimana dunia kesulitan memberikan legitimasi pada perjuangan anti-kolonialis ketika sebagian besar yang tertindas adalah orang-orang Muslim dan penindasnya adalah Yahudi.

Mitos 6: Israel terpaksa menduduki Tepi Barat dan Gaza pada tahun 1967, dan harus memegang wilayah-wilayah ini sampai yang lain siap untuk perdamaian

Mitos keenam adalah bahwa perang tahun 1967 memaksa Israel untuk menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memegangnya sampai dunia Arab, atau Palestina, bersedia membuat perdamaian dengan negara Yahudi.
Elit politik dan militer Israel menganggap perang tahun 1948 sebagai peluang yang terlewatkan: momen sejarah di mana Israel bisa saja menduduki seluruh Palestina historis (dari sungai Yordan hingga Laut Tengah).
 
Alasan satu-satunya yang tidak mereka lakukan adalah karena adanya kesepakatan diam-diam dengan Kerajaan Hashemite Yordania: sebagai imbalan atas partisipasi terbatas Yordania dalam upaya perang Arab umum, Yordania akan diizinkan menggabungkan Tepi Barat. Setelah tahun 1948, elit Israel mencari kesempatan dan merencanakan dengan cermat sejak pertengahan 1960-an bagaimana melaksanakan rencana untuk mendapatkannya semua.
Ada beberapa titik sejarah di mana Israel hampir melakukannya — tapi menahan diri pada saat terakhir. Kejadian paling terkenal adalah pada tahun 1958 dan 1960. 

Pada tahun 1958, pemimpin negara dan perdana menteri pertamanya, David Ben-Gurion, membatalkan rencana pada saat terakhir karena takut akan reaksi internasional. Pada tahun 1960, Ben-Gurion menahan diri karena kekhawatirannya terhadap demografi — berpikir bahwa Israel tidak dapat mengakomodasi jumlah Palestina yang begitu besar.
 
Peluang terbaik muncul pada tahun 1967 — terlepas dari mitos Israel yang tidak ingin perang melawan Yordania tetapi terpaksa bereaksi terhadap agresi Yordania. Tidak ada alasan bagi Israel untuk tetap berada di Tepi Barat, jika ini hanyalah ronde ketegangan lain antara kedua negara. Penggabungan Tepi Barat dan Jalur Gaza ke dalam Israel telah menjadi rencana Israel sejak tahun 1948 dan diimplementasikan pada tahun 1967.

Mitos 7: Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza dengan niat baik, tapi terpaksa merespons kekerasan Palestina

Mitos ketujuh adalah bahwa Israel bermaksud melakukan pendudukan yang baik hati tetapi terpaksa mengambil sikap yang lebih keras karena kekerasan Palestina. Israel sejak awal menganggap setiap keinginan untuk mengakhiri pendudukan — baik diungkapkan secara damai maupun melalui perjuangan — sebagai tindakan terorisme. Sejak awal, Israel bereaksi secara brutal dengan menghukum penduduk secara kolektif setiap kali terjadi perlawanan.

Palestina diberikan dua pilihan: 1) menerima hidup di penjara terbuka Israel dan menikmati otonomi terbatas serta hak untuk bekerja sebagai buruh yang dibayar rendah di Israel, tanpa hak-hak pekerja, atau 2) melawan, bahkan dengan cara ringan, dan mengambil risiko hidup di penjara keamanan maksimum, tunduk pada instrumen hukuman kolektif, termasuk penghancuran rumah, penangkapan tanpa pengadilan, pengusiran, dan dalam kasus yang parah, pembunuhan.

Perubahan realitas utama yang harus diterima oleh Palestina — atau menghadapi hukuman — adalah bahwa Israel akan sepihak memutuskan bagian mana dari Tepi Barat dan Jalur Gaza yang akan diambil selamanya dan dianeksasi ke Israel. Saat ini, lebih dari setengah Tepi Barat telah dianeksasi dengan berbagai cara, sementara Jalur Gaza dibiarkan sendiri, akhirnya, sebagai wilayah yang diinginkan Israel untuk diperintah secara langsung.
Bagian dari mitos ini terkait dengan klaim tentang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) — klaim yang dipromosikan oleh Zionis liberal di AS dan Israel serta dibagikan dengan kekuatan politik lainnya di Israel.
 
Tuduhan ini adalah bahwa PLO — di dalam dan di luar Palestina — melakukan perang teror hanya untuk sensasi teror semata. Sayangnya, demonisasi ini masih sangat umum di Barat dan semakin menonjol setelah tahun 2001 dengan upaya untuk menyamakan Islam, terorisme, dan Palestina.
 
PLO, sebenarnya, diakui sebagai satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina oleh lebih banyak negara daripada yang mengakui Israel. Penting dicatat bahwa demonisasi ini berlanjut bahkan setelah Perjanjian Oslo tahun 1993, melalui mana Israel seharusnya mengakui PLO sebagai mitra yang sah.
 
Bahkan Otoritas Palestina masih digambarkan oleh Israel sebagai kelompok yang mendukung teror. Jenis demonisasi terburuk ini, yang meyakinkan dunia Barat untuk melakukan boikot politik, ditujukan kepada Hamas. Sementara masyarakat sipil internasional terus mempertanyakan karakterisasi tersebut, media utama dan politisi masih terjerat oleh fitnah ini.

Mitos 8: Perjanjian Oslo mencerminkan keinginan kedua belah pihak untuk mencapai solusi

Mitos kedelapan adalah bahwa Perjanjian Oslo merupakan proses perdamaian yang lahir dari keinginan kedua belah pihak untuk mencapai solusi. Padahal, ide pemartisian Palestina sudah menjadi konsep Zionis pada tahun 1930-an; Palestina menolak untuk menyerahkannya hingga akhir 1980-an.
 
Sementara itu, bagian tanah yang bersedia ditawarkan Israel kepada Palestina turun dari setengah luas tanah menjadi 15 persennya. Keinginan untuk menyebut 15 persen ini sebagai negara tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa proses Oslo, dirancang semata oleh Israel, hanya menawarkan Bantustan yang terfragmentasi bagi Palestina dan tidak ada "hak kembali" atau solusi lain bagi jutaan pengungsi Palestina.

Oslo merupakan hasil dari matriks peristiwa yang melemahkan PLO dan pemimpinnya, Yasser Arafat, sedemikian rupa sehingga, meskipun menentang saran terbaik teman-temannya, dia memasuki proses ini dengan harapan mendapatkan kemerdekaan setidaknya di sebagian Palestina. Hasil akhirnya adalah hancurnya Palestina dan rakyat Palestina hampir secara keseluruhan.

Mitos 9: Intifada Kedua merupakan serangan teror massal yang diatur oleh Arafat

Mitos kesembilan adalah bahwa Intifada Kedua merupakan serangan teroris mega yang disponsori dan, dengan suatu cara, direncanakan oleh Arafat. Yang benar adalah, itu tak lain demonstrasi massa akibat ketidakpuasan terhadap pengkhianatan Oslo, yang diperparah oleh tindakan provokatif Ariel Sharon dan yang sejenisnya di sekitar tempat-tempat suci Islam di Palestina.
 
Protes tanpa kekerasan ini ditindas dengan kejam oleh Israel, yang menyebabkan respons Palestina yang lebih putus asa: penggunaan bom bunuh diri yang lebih luas sebagai upaya terakhir melawan kekuatan militer Israel yang sangat besar. Terdapat bukti dari koresponden surat kabar Israel yang menunjukkan bahwa liputannya pada tahap awal Intifada — sebagai gerakan tanpa kekerasan yang ditindas dengan kekerasan — ditaruh di lemari oleh editor agar sesuai dengan narasi pemerintah.

Narasi bahwa Palestina menggagalkan proses perdamaian dengan melakukan kekerasan, dan dengan demikian "menegaskan" apa yang selalu dikatakan oleh Israel tentang mereka — yaitu, bahwa mereka tidak melewatkan kesempatan untuk melewatkan kesempatan perdamaian dan bahwa "tidak ada yang bisa diajak bicara di pihak Palestina" — merupakan narasi yang sangat sinistis.
Pemerintah dan militer Israel mencoba dengan segala kekuatan yang ada untuk memberlakukan versi mereka sendiri mengenai pertemuan Oslo — yang dimaksudkan untuk mempertahankan pendudukan selamanya, tetapi dengan persetujuan Palestina — dan bahkan Arafat yang lemah tidak bisa menerimanya. Dia dan begitu banyak pemimpin lain yang bisa membawa Palestina menuju rekonsiliasi pasti akan diincar oleh Israel. Sebagian besar dari mereka, bahkan mungkin Arafat juga, diincar akan dibunuh.

Mitos 10: Solusi di Israel dan Palestina hampir tercapai

Mitos kesepuluh dan terakhir adalah bahwa solusi di Israel dan Palestina hampir tercapai: "solusi dua negara" akan terwujud dan konflik hampir berakhir.
 
Pandangan tersebut tidak ada di bumi ini; mungkin itu ada di suatu tempat di alam semesta. Realitas di lapangan, yaitu kolonisasi massif dan aneksasi langsung sebagian besar Tepi Barat ke Israel, akan membuat negara yang dihasilkan menjadi Bantustan yang menyedihkan tanpa kedaulatan yang memadai.
 
Bahkan lebih buruk, Palestina akan didefinisikan hanya sebagai 20 persen dari apa yang sebenarnya, dan Palestina akan didefinisikan hanya sebagai mereka yang tinggal di Tepi Barat. (Secara signifikan, Jalur Gaza sepertinya dikecualikan dari pembicaraan tentang negara masa depan, dan banyak bagian dari Yerusalem juga tidak termasuk dalam negara yang diharapkan).
"Solusi dua negara," seperti disebutkan di atas, adalah ciptaan Israel yang dimaksudkan untuk memungkinkannya menyelesaikan masalah tanpa memasukkan penduduk yang tinggal di sana. 

Karena itu, diusulkan bahwa sebagian dari Tepi Barat akan otonom dan mungkin bahkan menjadi "negara" sebagai imbalan bagi Palestina untuk menyerahkan semua harapannya: harapan untuk kembalinya para pengungsi, hak yang sama bagi Palestina di Israel, nasib Yerusalem, dan kehidupan normal sebagai manusia di tanah air mereka.

Kritik terhadap mitos ini dianggap sebagai antisemitisme. Namun, sebenarnya, kebijakan dan mitos inilah yang menjadi alasan utama mengapa antisemitisme masih ada. Israel bersikeras bahwa apa yang dilakukannya, itu dilakukan atas nama Yudaisme. Karena itu, ia menciptakan asosiasi antara kolonisasi Zionis dan agama Yahudi dalam pikiran orang-orang yang bengkok. Asosiasi ini seharusnya ditolak atas nama Yudaisme.

Sebenarnya, demi nilai-nilai universal, hak semua orang yang tinggal di Palestina (atau yang diusir) semestinya dihormati. Hak bagi semua orang di Israel dan Palestina untuk hidup sebagai setara seharusnya menjadi prioritas utama semua upaya perdamaian dan rekonsiliasi di wilayah tersebut.
Share:

Arogansi dan Keangkuhan Israel

Membaca artikel di MEMO (Middle East Monitor) berikut ini, hati saya begitu geram. Pendapat jurnalis Israel Gideon Leavy, bahwa akar dari segala perang di Palestina tak lain arogansi dan keangkuhan Israel, membuktikan kebenaran banyak ayat suci al-Qur'an maupun Alkitab yang menampilkan watak alamiah bangsa Yahudi Israel yang telah mereka miliki sejak zaman purba.

Di dalam Alkitab disebutkan: "Keangkuhan Israel menjadi saksi terhadap diri sendiri. Israel dan Efraim akan tersandung oleh kesalahan mereka sendiri, Yehuda pun akan tersandung bersama-sama mereka." (Hosea 5:5)

Watak Yahudi seperti itu didasari keangkuhan dan egoisitas komunal karena merasa "dianak-emaskan" oleh Allah. "Wahai Bani Israel, ingatlah nikmat Allah yang telah Aku berikan kepada kalian. Sungguh Aku telah memberikan keutamaan kepada kalian melebihi bangsa lain di muka bumi" (QS Al-Baqarah [2]: 47). 

Padahal keutamaan yang dimaksud dalam ayat itu bersyarat: jika mereka mau beriman kepada Allah, mematuhi syariat, dan mensyukuri nikmat-Nya. Dan semua ini dilanggar oleh mereka.

Tulisan yang saya sertakan berikut ini, sekali lagi, mencerminkan pandangan jurnalis Israel, Gideon Levy, yang paham betul Israel. Dia menyampaikan bahwa di balik semua yang terjadi, akar dari permasalahan di Timur Tengah bermula dari sikap angkuh Israel. Mereka percaya bahwa mereka dapat melakukan apa pun tanpa harus membayar konsekuensi atas tindakan mereka.

Israel dianggap terus melakukan tindakan-tindakan di wilayah Palestina, seperti penangkapan, pembunuhan, penindasan, dan pencurian. Hal ini terjadi tanpa ragu, bahkan mereka mengunjungi tempat-tempat suci di tanah Palestina. 

Levy menyebutkan bahwa Israel berpikir dapat mengontrol Gaza dengan memberi sedikit insentif, seperti izin kerja bagi beberapa ribu warga Palestina di Israel, namun ini hanya seperti setetes air di samudra. Kondisi hidup sebagian besar penduduk Gaza sangat sulit, dengan mayoritas dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan.

Levy juga mengomentari upaya perdamaian yang dilakukan Israel dengan negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Levy menganggap bahwa tindakan ini mengesampingkan perhatian terhadap nasib rakyat Palestina.

Pada akhirnya, Levy menegaskan bahwa kebanggaan Israel akan membawa mereka kepada harga yang mahal. Serangan terhadap pemukiman Israel di sekitar Jalur Gaza membuat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan negaranya dalam keadaan perang dan mengancam akan menghukum warga Gaza. 

Meskipun demikian, Levy percaya bahwa ancaman ini tidak akan memberikan solusi. Israel selama ini telah menghukum Gaza sejak 1948 tanpa henti, dan ancaman untuk "menghancurkan Gaza" hanya membuktikan bahwa Israel belum belajar dari pengalaman masa lalu. Arrogansi tetap ada, bahkan setelah Israel kembali membayar harga yang mahal.

~ Ahmadie Thaha
Pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an.


Middle East Monitor

Israel expert: Are we allowed to be arrogant without paying a price?

October 9, 2023 at 12:17 pm

Israeli journalist Gideon Levy said in an article in Haaretz newspaper that Israel's arrogance is behind everything that has happened, adding that the Israelis thought they were allowed to do anything and that they wouldn't pay a price or be punished for it.

Levy went on to say: "We continue without uncertainty. We arrest, kill, mistreat, rob, protect settlers committing massacres, visit Joseph's Tomb, Othniel's Tomb, and Joshua's altar, all in the Palestinian territories, and of course we visit the "Temple Mount" [Al-Aqsa Mosque], with more than 5,000 Jews visiting it on Sukkot. We shoot innocent people, gouge out their eyes and smash their faces, deport them, confiscate their lands, rob them, kidnap them from their beds, and carry out ethnic cleansing. We also continue the unreasonable siege. And everything will be fine."

"We build a huge barrier around the Gaza Strip; its underground structure cost 3 billion shekels ($766 million) and we will be safe. We rely on the geniuses of Unit 8200 and the Shin Bet agents who know everything and will warn us at the right time. We move half the army from the Gaza enclave to the Huwara enclave just to secure the settlers' Sukkot celebrations, and everything will be fine, whether in Huwara or Erez. Then it turns out that a primitive, ancient bulldozer can break through even the most complex and expensive obstacles in the world with relative ease, when there is a great incentive to do so."

He added that Israel believed it could control Gaza by "throwing it crumbs here and there, in the form of a few thousand work permits in Israel", but this was "just a drop in the ocean, and is always conditional on good behaviour". A large majority of the 2.3 million Palestinians in the Gaza Strip live in poverty. According to UN figures from 2021, "81.5 per cent of individuals in Gaza, 71 per cent of whom are Palestine refugees, live below the national poverty line. Sixty-four percent are food insecure."

Commenting on recent remarks by Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu and efforts by his coalition to sign peace deals with Arab states, Levy said: "We make peace with Saudi Arabia and the UAE, and our hearts forget the Palestinians, so that they can be wiped out."

We thought we could arrogantly continue to reject any attempt at a political solution, simply because it was not convenient for us to engage in it, and everything would definitely continue like this forever. Once again, this proved not to be the case.

"Palestinians in Gaza have decided they are willing to pay anything for a glimpse of freedom."

As a result of the Palestinian resistance's attack on Israeli towns around the besieged Gaza Strip, Netanyahu has declared that Israel is at war and has threatened to punish Palestinians in Gaza. Levy, however, says this will achieve little. "However, Israel has been punishing Gaza since 1948, without stopping for a moment. 75 years of abuse, and the worst awaits it now. Threats to "flatten Gaza" prove only one thing: that we have learned nothing. Arrogance is here to stay, even after Israel has once again paid a heavy price."
Share:

Isti'adzah Sebelum Membaca al-Qur'an

Pagi ini, di atas kereta komuter Jakarta-Bogor, seperti biasa saya menyempatkan diri membaca al-Qur'an. Saya menyelesaikan tepat satu juz alias 20 halaman, menuntaskan jadwal baca harian satu juz. Kebetulan suasana kereta cukup enak, penumpang jarang yang berdiri, meski kursi penuh.

Bacaan al-Quran saya antara lain tiba di ayat 98 surat An-Nahl (16). Bunyinya:
فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ 

Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur'an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (Qs. An-Nahl [16]: 98)

Saya pikir, saya perlu membuat catatan sekilas soal yang disinggung ayat ini, untuk mengingatkan diri saya sendiri tentang pentingnya membaca isti'adzah. Sebab, ketika dalam kondisi terburu-buru, kadang saya lupa membacanya. Padahal, Allah Swt telah menegaskan kepada Nab Muhammad ﷺ agar beliau lebih dahulu membaca doa istiadzah sebelum mulai membaca al-Qur'an. 

Isti'adzah, yang berarti mencari perlindungan, adalah praktik mencari perlindungan dan lindungan kepada Allah dari pengaruh setan sebelum terlibat dengan Al-Qur'an. Ayat dalam Surah An-Nahl (16): 98 memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk mencari perlindungan ini, memberikan contoh bagi semua umat Muslim.

Praktik ini penting karena membantu kita untuk menjaga koneksi yang fokus dan tulus dengan Al-Qur'an. Isti'adzah perlu kita baca untuk memastikan kita bahwa Allah akan melindungi kita dari gangguan dan pengaruh negatif setan. 

Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pun diperintahkan untuk mencari perlindungan. Ini menegaskan pentingnya isti'adzah bagi semua orang. Apalagi saat kita membaca al-Qur'an, ketika kita berusaha terhubung dengan setiap kata dan firman Allah.

Al-Qur'an memberikan petunjuk untuk kehidupan yang abadi. Maka, upaya kita mencari perlindungan dari godaan setan yang terkutuk, sebelum terlibat dengannya, membantu kita memahami makna sejati ayat-ayat suci dan tetap berada di jalan yang benar.

Sumber-sumber tafsir menekankan bahwa setan sangat gigih dalam mencoba mengalihkan orang-orang yang beriman dari pemahaman Al-Qur'an. Dengan mencari perlindungan kepada Allah, kita memperkuat hati dan pikiran kita menghadapi kemungkinan gangguan ini, sehingga memungkinkan kita mendekati al-Qur'an dengan penuh dedikasi, refleksi, dan iman.

Instruksi untuk mencari perlindungan dari setan saat membaca al-Qur'an bukanlah wajib, sebagaimana konsensus para ulama. Namun, itu sangat dianjurkan (nawafil). Hal ini dilakukan terutama sebelum memulai membaca al-Qur'an, untuk mencegah hambatan dalam memahami kitab suci dan fokus pada bacaannya. 

Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya memulai keterlibatan apa pun dengan Al-Qur'an dengan niat yang tulus ikhlas. Betapa pun kuat fisik kita, kita tetap memohon perlindungan kepada Allah dengan mengucapkan: 
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Kita baca itu dengan merenungkan maknanya, berserah diri dengan sepenuh hati kepada Allah untuk mengalihkan perhatian setan yang hendak mengganggu kita. Kita terus berupaya mengenyahkan obsesi dan pikiran buruk setan, serta berusaha mencari cara paling ampuh untuk mengusirnya, yaitu dengan menghiasi jiwa dan pikiran kita dengan keimanan dan ketawakkalan.

~ Ahmadie Thaha
Pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an
Share:

Jon Olav Fosse, Pemenang Nobel Sastra 2023

"Kehilangan arah, itulah pengalaman manusia yang paling kuat, yang membawa kita lebih mendekati pengalaman mendalam yang mirip dengan keilahian." 

Demikian kutipan tak langsung dari tulisan Jon Fosse, sastrawan yang baru saja memenangkan hadiah Nobel Sastra 2023, penghargaan tertinggi dan diakui dunia.

"Dalam kehidupan sehari-hari yang dikenali dengan cepat, kita menemukan momen-momen kritis dari ketidakpastian," tulis Fosse berikutnya. Dia merekam berbagai kehidupan sehari-hari, dan sering mendapatkan momen kritis, seperti bunuh diri.

Di salah satu karyanya, yang pertama, 'Raudt, svart' (1983), dia memang membahas tema bunuh diri. Di sini, dia dengan bahasa sederhana menggambarkan sifat pemberontakan dan sikap emosionalnya. 

Fosse menciptakan suasana yang menghadirkan perasaan kehilangan arah manusia dan bagaimana hal ini memberikan akses pada pengalaman mendalam yang mendekati pengalaman keilahian. Agama seolah hadir menjadi tema.

Di karya bukunya yang kedua, 'Sterk vind' (2021), dia menunjukkan peningkatan penggunaan gambar dan simbolisme dalam lakon-lakonnya. Ini menunjukkan kekayaan bahasanya.

Sejak penerbitan koleksi puisi pertamanya pada tahun 1986, Fosse selalu memanfaatkan bahasa lirik sebagai sumber daya penting dalam penulisannya. "Bahasa lirik selalu menjadi sumber daya penting bagi saya dalam menciptakan karya-karya saya," akunya.

Jon Fosse, penulis Norwegia, diganjar penghargaan Nobel Sastra pada 2023, "atas karyanya yang inovatif dalam bentuk sandiwara dan prosa yang memberikan suara pada hal-hal yang tak terucapkan." Dia mampu mengungkap bagian-bagian terdalam pengalaman manusia.

Lahir pada 1959 di Haugesund, pesisir barat Norwegia, Fosse memiliki sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Norwegia Nynorsk. Karya-karyanya mencakup berbagai genre seperti sandiwara, novel, puisi, esai, buku anak-anak, dan terjemahan.

Bukti kesuksesannya di panggung internasional terwujud pada sandiwara produksi Paris, 'Nokon kjem til å komme' (1996) pada 1999. Dalam bahasa Inggris, judul karya ini menjadi 'Someone Is Going to Come' (2002).

Karya ini membawa tema antisipasi takut dan cemburu yang melumpuhkan. Di sini dia menunjukkan keunikannya melalui bahasa yang sederhana namun mendalam untuk menggambarkan emosi manusia yang paling kuat.

Fosse menggabungkan akar lokal yang kuat dengan teknik seni modern, mirip dengan penulis pendahulunya dalam sastra Norwegia Nynorsk, Tarjei Vesaas. Dalam karya-karya Fosse, seperti dalam 'Stengd gitar' (1985), ia menyajikan momen kritis dari ketidakpastian dengan cara yang menggugah. 

Gaya penulisan "minimalisme Fosse" yang ditonjolkan dalam karya-karyanya, membawa nuansa kehidupan sehari-hari yang dikenali dengan cepat oleh pembaca.

Penghargaan Nobel Sastra 2023 untuk Jon Fosse mengakui kontribusinya yang luar biasa dalam membentuk sastra kontemporer dengan penyederhanaan bahasa yang kuat, mendalam, dan mencerminkan kehangatan, humor, dan kerentanannya terhadap pengalaman manusia yang tegas. 

Karya-karyanya menavigasi batas-batas bahasa dan memperkaya diksi dasarnya, menjadikannya inovator besar dalam teater modern. Penghargaan Nobel baginya seolah hendak membangkitkan kembali seni teater yang kini tergusur oleh pentas-pentas digital.

~ Ahmadie Thaha
Pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an
Share:

Akar Teologis Kapitalisme by Yudi Latif

Saudaraku, keyakinan dan konsepsi keagamaan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan kehidupan. Bahkan pada kebangkitan ekonomi modern yg tampak sbg fenomena sekular, spt kapitalisme, pasar bebas dan negara kesejahteraan, sesungguhnya bisa dilacak akar-akar teologisnya.

Hal itu tersimpul dlm buku "Religion and the Rise of Capitalism", karya Benjamin M. Friedman (2021). Bertentangan dgn pandangan sejarah konvensional yg menganggap ekonomi sbg produk sekuler pada masa pencerahan, Friedman menunjukkan bahwa agama memberikan pengaruh yg kuat sejak awal. Friedman memperjelas bagaimana transisi mendasar dlm pemikiran ttg apa yg sekarang kita sebut ekonomi, yg dimulai pada abad ke-18, scr kuat dibentuk oleh garis-garis pemikiran keagamaan yg saling bertentangan dlm dunia Protestan berbahasa Inggris.

Hingga abad ke-18, dunia pemikiran di Eropa Barat sangat kuat dipengaruhi lingkungan epistemik Protestantisme, terlebih institusi universitas saat itu umumnya merupakan perpanjangan dari institusi gereja. Dan hingga awal abad itu, teologi Calvinis Ortodoks menjadi arus utama pemikiran keagamaan yg berkembang. 

Teologi Calvin sering diringkas dgn akronim TULIP. T mengingatkan bahwa kita Totally depraved (sepenuhnya bobrok). U mewakili fakta bahwa keselamatan itu Unconditional (tak bersyarat); Tuhan dan hanya Tuhan yang memilih orang-orang pilihan dan kita tidak dapat memengaruhi pilihan-Nya. Terlebih lagi, penebusan itu bersifat Limited (terbatas); Tuhan hanya menyelamatkan mereka yang terpilih. Selain itu, kasih karunia Tuhan itu Irresistible (tak dapat ditolak); jika dia menelepon, kami tidak punya pilihan selain merespons. Yang terakhir, doktrin Preservation (penjagaan) orang-orang kudus mengingatkan kita bahwa Allah tidak pernah berubah-ubah; begitu Dia memberikan keselamatan, Dia memberikannya selamanya.

Pandangan Calvin yg deterministik dan sangat pesimistis mengenai sifat manusia, kurang sejalan dgn dinamika ekonomi pasar baru dan gairah individu utk berburu kemakmuran yg dipacu oleh merkantilisme. Negeri Belanda akibat kemakmuran yg diperoleh sbg penguasa perdagangan antarbenua (terutama dari Hindia Belanda) sejak pertengahan abad-17, menjadi tempat persemaian komunitas epistemik yg lebih liberal. 

Dari lingkungan Universitas Leiden, muncullah seorang profesor teologi Protestan pembaharu, bernama Jacobus Arminius (1560-1609). Arminius menganggap Calvinisme yg ketat menghina Tuhan. Bahwa kemuliaan Tuhan tidak dapat dihargai sepenuhnya jika orang yg menyembah-Nya tak memiliki kebebasan untuk memilih-Nya. Jika manusia mempunyai kehendak bebas, maka konsep predestinasi hrs diubah dan gagasan tentang orang-orang pilihan yang terbatas harus diperluas. 

Pemikiran Arminian menegaskan "kebaikan alami manusia berbeda dgn kebobrokan bawaan, peran sentral dari kebebasan memilih dan bertindak berbeda dgn predestinasi dan rancangan alam semesta tidak semata-mata untuk memuliakan Tuhan tetapi juga untuk meningkatkan kebahagiaan manusia."

Perdebatan yg diprakarsai oleh kaum Arminian pada awalnya hanya terbatas di Belanda, namun tak lama kemudian merembet ke Inggris dan Skotlandia. Lantas memengaruhi pemikiran para teolog dan ilmuwan di kawasan tersebut, termasuk lingkaran komunitas epistemik di Universitas Edinburg dan Glasgow, termasuk Adam Smith dan David Hume. 

Smith sendiri tak terlalu peduli pada agama, bahkan Hume secara aktif bersikap bermusuhan. Meski begitu, kuatnya pengaruh lingkungan epistemik keagamaan berdampak pada tulisan mereka. Bahkan Smith sendiri bukan seorang profesor ekonomi--krn saat itu ekonomi belum menjadi disiplin ilmu tersendiri--melainkan profesor teologi "natural" (teologi yg memahami Tuhan tidak berdasarkan kitab suci, melainkan berbasis hukum alam). Di tangan para sarjana semacam Smith inilah, ilmu ekonomi baru muncul dgn mensekulerkan gagasan-gagasan Arminian, yg menggambarkan sebuah dunia di mana pasar dan lembaga-lembaga sekuler lainnya akan mengambil alih tugas Tuhan utk meningkatkan prospek manusia.

Teologi Arminian mempunyai pengaruh yg paling bertahan lama di Amerika Serikat. Kaum Puritan, penganut jenis Calvinisme yg lebih ketat, tidak mempunyai pandangan optimis tentang sifat manusia. Mungkin karena alasan itulah, teologi mereka semakin terasa ketinggalan zaman di negara baru yg penuh semangat ini. Ketika Amerika berkembang, Arminianisme juga berkembang, berbentuk Metodisme dan semua varian yg muncul setelahnya. Pada pertengahan abad ke-19, Calvinisme yg ketat hanya tinggal kenangan.

Kecuali di kalangan mereka yg menyebut dirinya fundamentalis. Fundamentalisme diasosiasikan dgn apa yg oleh para teolog disebut sbg eskatologi premilenial (eskatologi berkaitan dengan akhir zaman), dimana Yesus akan memulai Kedatangan Kedua. Sebagian besar umat Protestan setuju, namun kapan dan bagaimana masih menjadi bahan perdebatan. Penganut paham premilenialisme menganut keyakinan bahwa sifat bawaan kita yg penuh dosa akan membawa kita ke masa yg penuh gejolak, dan baru setelah itu Yesus akan menampakkan diri dan mengambil sisa-sisa org yg sungguh-sungguh benar (the righteous).

Kaum postmillennialis menantang gagasan semacam itu sepanjang abad ke-19 dan ke-20. Mereka mengajarkan bahwa umat manusia dapat memenangkan hati Yesus dgn melakukan reformasi sosial spt penghapusan perbudakan atau perbaikan kondisi kerja. Terinspirasi oleh kebaikan mereka, Yesus akan menunda kedatangannya sampai dunia yang menyerupai ajaran sosialnya tercipta.

Protestantisme Liberal muncul dari postmillennialisme dan mempunyai tumpang tindih dengan ekonomi; Richard T. Ely (1854-1943), salah satu pendiri American Economics Association, merupakan contoh utama. Kecenderungan reformis Ely memainkan peran utama dalam membangun gerakan Social Gospel, yg akhirnya membuahkan hasil pada masa New Deal. Friedman berargumentasi, kendati ilmu ekonomi Social Gospel melontarkan pertanyaan serius tentang kemanjuran laissez-faire, namun hal itu sangat sejalan dengan konsepsi kemajuan manusia yang ditemukan dalam Smith dan Hume.

Lewat buku ini, Friedman mengambil jalur yang berbeda dgn Max Weber dalam mencari hubungan antara agama dan kapitalisme. Weber menjangkarkan tolakan ke arah kapitalisme itu pada keyakinan dan etos Protestan secara keseluruhan, terutama pada teologi Calvinis. Sedangkan Friedman cenderung menarik akarnya pada teologi protestan yg lebih liberal.

Namun, lepas dari perbedaan perspektif, keduanya memberi insight tentang pentingnya menyiapkan kerangka teologi utk tujuan transformasi sosial, terutama bagi masyarakat bangsa dgn pengaruh agama yang masih menghunjam dalam di jantung kehidupan warga. (Edulatif No. 30)
Share:

Mendirikan Universitas Islam Al-Amien

Suatu saat kelak, entah kapan, Al-Amien yang tertetak di desa kacil di ujung timur Pulau Madura ini membuka lokasi baru puluhan hektar berdampingan dengan lokasi lama. Di dalamnya berdiri deretan bangunan super modern lengkap dengan peralatannya yang angat canggih, menyembul di tengah-tengah pepohonan yang rindang menyejukkan. Di pintu gerbangnya ada papan nama bertuliskan ...
UNIVERSITAS ISLAM AL-AMIEN

Di depan beberapa gedung terpampang tulisan Fakultas Ilmu-ilmu Tanzili, Fakultas Kedokteran, Teknik, Pertanian, Ekonomi, IImu-ilmu Politik, IImu-ilmu Sosial, dsb ...

Mahasiswanya berjumlah ribuan, yang disaring dari ribuan pendaftar sebagai calon mahasiswa baru setiap tahun. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru Tanah Air dan mancanegara, terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa yang beraneka ragam.

Banyak orang tertarik kepada universitas ini, karena ia memang memiliki daya tarik tersendiri. Ia mampu memadukan tradisi-tradisi kepesantrenan yang Islami dengan tradisi-tradisi keilmuan modern.



Masjid Jami' Al-Amien yang masih nampak megah, kokoh, dan tidak kalah dengan bangunan-bangunan lain itu, menjadi pusat kegiatan keseharian seluruh penghuni kampus: sholat, berdzikir, belajar, berdiskusi, membaca Al-Quran, dsb. Di sudut-sudut tertentu dan di gazibo-gazibo nampak beberapa ustadz yang juga dosen sedang membimbing para mahasiswa mengkaji kitab kuning.

Perpustakaan yang terletak di bagian belakang masjid tidak pernah sepi dari pengunjung sepanjang hari. Semua kebutuhan mereka dilayani serba otomatis lewat komputer, internet, dan peralatan canggih lainnya.

Di sana-sini di berbagai sudut kampus nampak para mahasiswa berbaur menjadi satu dengan santri-santri cilik TMİ dan MTA, tanpa rasa risih dan rikuh sedikitpun, karena mereka juga merasa dirinya adalah santri. Semuanya menyatu dalam dekapan Ukhuwah Islamiyah yang kokoh dan harmonis, tetapi tetap bergerak aktif dan dinamis dalam suasana kompetetif yang sehat untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.

Begitu adzan berkumandang, seluruh aktivitas dihentikan. Semuanya menuju masjid untuk sholat jama'ah, beraudiensi dengan Sang Kholiq dengan penuh khisyu' dan tawadu'.

Alumnimya menjadi pelopor-pelopor yang profesional dan gagah berami dalam bidangnya, memiliki prestasi yang tinggi dan mampu melahirkan karya-karya baru yang bermanfa'at bagi manusia dan kemanusiaan. Tetapi hatinya tetap tunduk di hadapan Sang Kholig, dan tawadlu' terhadap sesama. Tak ada kesan sombong, tak pernah meremehkan siapa pun. Mereka dikenal sebagai "fursaan" di siang hari dan "ruhbaan" di malam hari. Mereka adalah "tokoh-tokoh" di bidangnya yang sangat disegani dan dihormati, tetapi mereka tetap menjadi "bagian" dari masyarakat lingkungannya.

Demikianlah obsesi dan cita-cita para Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien. Sebuah khayalan atau utopia? Mungkin memang ada orang pesimis atau bahkan tersenyum sinis mendengar obsesi ini. Suatu reaksi yang, bagi kita, wajar-wajar saja.

Dulu, di awal abad ke-19, ketika Kyai Idris Patapan yang 'ndeso dan kampungan' itu berobsesi anak cucunya menjndi Ulama' dan Tokoh-tokoh masyarakat, banyak tetangganya yang tersenyum sinis. Ketika Kyai Chothib yang berada di bawah garis kemiskinanitu, berobseai seluruh anaknya blsa nailk haji dan belajar di Makkah, orang-orang pun tersenyum sinis. Begitu pula ketika Kyai Djauhari di awal tahun 50-an, hanya dengan modal sebidang tanah kering yang sempit, berobsesi untuk membangun pesantren besar bertarap nasional yang representatif, banyak orang tersenyum sinis.

Maka tak heran, jika obsesi Al-Amien untuk memiliki universitas bertarap intermasional ini, juga mendapat tanggapan dan reaksi yang sinis. Apalagi memang sudah berkembang suatu asumsi di kalangan para ahli, tentang "kemustahilan" lahirnya universitas yang kualifaid dari lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren. Mereka secara dikhotomis menggambarkan keduanya sebagai dua lembaga pendidikan yang memiliki prototipe yang bertolak belakang. Kepatuhan santri kepada kiai dilawankan dengan keterbukaan dan kebebasan akademik. Keikhlasan dan kesederhanaan yang menjiwai aktivitas pesantren dianggap sebagai penghalang kemajuan. Dan masih banyak asumsi-asumsi negatif lainnya yang bersumber dari "ketidaktahuan" atau bahkan dari "ketidakmautahuan".

Padahal, tradisi-traisi kepesantrenan yang ada dan berkembang sekarang ini, sebenarnya lahir dan diilhami oleh tradisi keilmuan dalam Islam yang dipadukan dengan tradisi-tradisi budaya bangsa. Yang pertama, telah membuktikan kemampuannya menjadi pelopor sekaligus memberikan arah yang tepat bagi upaya penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan yang kedua telah mampu mewarnai para santri dengan watak-watak yang positif, terutama dalam mengadaptasikan nilai-nilai universal dengan nilai-nilai setempat.

Selain itu sejarah perkempangan universitas-universitas di Eropa dan Amerika mengajarkan kepada kita, bahwa banyak universitas besar dan terkenal bermula dari kampus-kampus yang bernuansa keagamaan. Bahkan universitas-universitas Islam pada masa kejayaannya juga lahir dari semangat dan ruh keagamaan yang kuat, yang berawal dan berpusat di masjid. Istilah "universitas" yang dalam bahasa Arab disebut "Jami'ah" tidak bisa lepas dari istilah "Al-Jami" yang berarti masjid yang dipakai untuk melaksanakan Sholat Jum'at. Nah, masihkan kita ragu?

Lebih dari itu, modal dasar yang dimiliki Al-Amien saat ini sudah berkembang sebegitu rupa dan diakui memiliki kualitas unggulan yang kompetitif dan patut dibanggakan.
  • TMI dan TMaI Al-Amien, sebagai lembaga pendidikan keagamaan tingkat menengah telah memiliki reputasi nasional dan bahkan internasional. Beberapa universitas di luar negeri seperti Universitas Ummul Quro di Makkah, Islamic University di Madinah, Kuala Lumpur dan Islalabad, Universitas Al-Azhar di Kairo, Universitas Zaituna di Tunisia, telah memberi "Mu'adalah", atau persamaan ijazah bagi kedua lembaga tersebut. Keduanya diharapkan bisa mendroping calon mahasiswa pada Fakultas Ilmi-ilnu Tanzili.
  • Ma'had Tahfidzil Quran dengan SMP dan SMUnya dan sistim pesantrennya, telah diakui oleh berbagai kalangan sebagai salah satu Sekolah Unggulan di negeri kita. Dari lembaga ini diharapkan lahir Fakultas-fakultas Eksakta.
  • Al-Amien I dengan MTs dan MA plusnya juga telah menunjukkan reputasi dan prestasi yang patut dibanggakan, terutama dilihat dari NEM yang dicapai oleh murid-muridnya. Dari lembaga ini diharapkan lahir Fakulfas-fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora.
Nah, masihkah ada orang yang tersenyum sinis? Kalau punn masih ada, kita maafkan saja. Bahkan kita berharap semoga hal tersebut justru menjadi cambuk untuk memicu kerja keras, usaha sistimatis, dan do'a-do'a kia, dalam meraih obsesi dan cita-cita yang agung, dan luhur ini.

Yang terpenting, kita harus sadar sepenuhnya bahwa untuk meraih obsesi ini dituntut adanya kualitas yang tinggi dari setiap individu kita dalam berbagai bidang menyangkut iman, ilmu dan amal; menyangkut moral, mental, ethos, wawasan intelektual, dan keahlian atau keterampílan tertentu. Kualitas individu tersebut kemudian digabung dalam "team work" yang solid, kompak dan padu antara kita. Akhirnya setelah "'azm" ini, marilah kita bertawakkal kepada Allah SWT. Semoga. Amien.

Dikutip dari buku:
Pondok Pesanten Al-Amien dalam Lintasan Sejarah, halaman 92-94.
Share:

Mengatasi Korupsi Melalui Bahasa Kasar

Korupsi di Indonesia sudah begitu merajalela dan sulit diatasi, bahkan oleh lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muncul ide, mungkin satu-satunya cara menghilangkan korupsi adalah mengganti istilah yang sudah kehilangan makna ini dengan kata lain yang lebih menohok.

"Ganti korupsi dengan kata yg sudah lama ada dan masih dipakai di kalangan rakyat, seperti garong, rampok, begal," kata Farid Gaban, aktivis dan jurnalis yang bersama tiga rekannya baru balik dari Ekspedisi Indonesia Baru, berkeliling Indonesia lebih dari 400 hari menggunakan sepeda motor. 

Namun, diakuinya, kata-kata asli apa adanya yg berlaku di kalangan rakyat kebanyakan masih harus diperkenalkan kembali dalam kosakata politik sehari-hari, seperti jancuk, bajingan, tolol, dan kata-kata kasar lain serupa.

"Ini bisa dimulai dengan para wartawan dan media menolak eufemisme," tegasnya dalam percakapan di suatu grup medsos. Dia memberi contoh, bayangkan berita di televisi bunyinya begini:

"Para pemirsa, Kejaksaan hari ini telah menangkap Menteri X yang menggarong uang negara."

"Bajingan itu berasal dari partai anu yang reputasinya jancukan semua."

"Presiden negeri itu juga tolol karena tidak bisa mengendalikan kabinet. Bukan cuma satu, enam menterinya terlibat merampok duit rakyat. Asu semua!"

Meskipun gagasan ini dapat memicu perdebatan, penting mempertimbangkan pendekatan alternatif tadi untuk memberantas korupsi yang sudah membudaya. Sekali lagi, korupsi telah begitu merajalela dan sulit diatasi selama bertahun-tahun. 

Meskipun lembaga antikorupsi sudah berupaya keras mengatasinya, dan sering diintervensi pihak tertentu, perubahan signifikan masih sulit dicapai. Maka, usulan penggantian kata "korupsi" dengan istilah-istilah kasar yang sudah lama ada dalam bahasa sehari-hari dipastikan dapat memiliki efek psikologis yang kuat. 

Bahasa yang tegas dan jujur dapat membantu masyarakat memahami dampak negatif dari tindakan korupsi dan merasa lebih terhubung dengan masalah tersebut. Namun, bersamaan dengan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Pertama, Perubahan Budaya: Penggantian kata tidak akan berhasil tanpa perubahan budaya yang mendalam. Peningkatan kesadaran tentang korupsi dan penolakan terhadapnya harus didorong secara aktif melalui pendidikan, kampanye, dan kebijakan pemerintah yang transparan dan adil.

Kedua, Media dan Wartawan: Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Jika media dan wartawan menggunakan bahasa yang tegas, menohok dan jujur dalam melaporkan kasus korupsi, hal ini dapat membantu mempengaruhi perubahan sikap masyarakat.

Ketiga, Kepemimpinan yang Teladan: Para pemimpin, terutama di tingkat politik, harus menjadi teladan dalam berjuang melawan korupsi. Mereka harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memerangi korupsi dan tidak boleh terlibat dalam tindakan korupsi.

Keempat, Hukuman yang Tegas: Penting untuk memastikan bahwa hukuman bagi pelaku korupsi memadai dan efektif. Ini termasuk pengadilan yang adil dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.

Kelima, Partisipasi Masyarakat: Masyarakat juga harus berperan aktif dalam memberantas korupsi. Mereka dapat melaporkan tindakan korupsi yang mereka saksikan dan mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Meskipun mengganti nama korupsi dengan kata-kata kasar mungkin menjadi langkah yang kontroversial dan berdampak psikologis yang mendalam, penting juga diingat bahwa perubahan bahasa hanya merupakan bagian kecil dari solusi yang lebih besar. 

Yang tak kalah penting adalah menciptakan perubahan budaya yang mendasar dan berkelanjutan dalam masyarakat Indonesia untuk mengatasi masalah korupsi. Semua pihak, termasuk pemerintah, media, dan masyarakat, harus bekerjasama untuk mencapai tujuan ini memanfaatkan segala cara yang tersedia.

(Ahmadie Thaha, pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an)
Share:

Sukses Literasi Digital Melawan Misinformasi

Dua hari lalu, saya ditanya kawan, bagaimana cara efektif mengenali informasi hoaks. Saya agak kaget ditanya begitu, karena si kawan ini dulu sama-sama wartawan di harian Republika dan di tabloid mingguan politik Tekad yang saya pimpin. Tampaknya, usia mempengaruhi kemampuannya untuk mengenali berita hoaks yang banyak beredar dan viral secara online. Itulah problema kita.

Dalam dunia yang semakin bergantung pada media digital, mengatasi misinformasi yang dikenal dengan hoaks telah menjadi tantangan penting bagi kita semua. Namun, kita dapat belajar dari sebuah inisiatif revolusioner yang baru-baru ini coba dilaksanakan di Spanyol, yang telah berusaha mengatasi tantangan ini dengan memberdayakan generasi yang lebih tua untuk mengidentifikasi dan melawan misinformasi yang tersebar secara online. 

Dikembangkan oleh MediaWise, sebuah inisiatif berbasis di AS, dan Newtral, sebuah outlet berita Spanyol, kursus WhatsApp inovatif yang diselenggarakan baru-baru ini menjadi perhatian karena potensinya yang relatif berhasil menjembatani kesenjangan kepercayaan antar-generasi terhadap berita. Mereka membuat kursus literasi digital pada generasi yang lebih tua di Spanyol melalui platform WhatsApp.

Kursus yang Membuat Perbedaan

Dikirim melalui WhatsApp, platform yang banyak digunakan untuk konsumsi berita oleh 27% penduduk Spanyol, kursus tersebut bertujuan untuk meningkatkan literasi digital generasi yang lebih tua. Peneliti dari Universitas Navarra secara cermat mempelajari dampak kursus ini pada kelompok sampel orang berusia di atas 50 tahun di Spanyol. Hasilnya cukup menjanjikan, menunjukkan bahwa kursus ini memiliki efek positif dalam batas tertentu.

Kursus tadi dilaksanakan dalam sesi harian dengan mengirimkan pesan, pertanyaan, dan video, yang mencakup berbagai topik. Isinya beragam, mulai dari mendefinisikan misinformasi hingga mengidentifikasi saluran utama penyebaran hoaks. 

Peserta menerima pelatihan komprehensif yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Kursus ini diluncurkan pada April 2023, dan hingga sekarang masih berlanjut dengan terus membuka pendaftaran baru, mencerminkan relevansinya yang berkelanjutan.

Hasil yang Positif

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Navarra dan Laboratorium Media Sosial Stanford membuahkan hasil yang menggembirakan. Kelompok orang dewasa yang mengikuti kursus tersebut menunjukkan peningkatan kemampuan untuk membedakan berita nyata dari berita palsu setelah menyelesaikannya. 

Penelitian membuktikan, peningkatan ini terutama mencolok dalam keberhasilan pengenalan judul berita yang benar. Demikian pula, melalui kursus yang dirancang dengan baik, kemampuan para lansia untuk mengidentifikasi judul berita palsu juga mengalami peningkatan.

Yang penting, penlitian membuktikan bahwa usia, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan tidak tampak secara signifikan memengaruhi kemampuan peserta dalam mendiskernir akurasi berita. Hal ini menunjukkan bahwa literasi digital dan kemampuan melawan misinformasi dapat ditanamkan dalam beragam kelompok demografis.

WhatsApp: Media yang Tepat

Pilihan WhatsApp sebagai platform pengiriman kursus terbukti pula merupakan opsi strategis. Di Spanyol, WhatsApp digunakan secara signifikan oleh 27% warga untuk konsumsi berita. Ini menjadikannya platform sosial terpopuler kedua untuk berita setelah Facebook. Daya tarik WhatsApp sebagai medium untuk kursus ini berasal dari popularitasnya dan perannya ini.

Meskipun kursus ini berhasil dalam banyak hal, peneliti mencatat tantangan terkait dengan mempertahankan peserta untuk terus mengikuti kursus. Tantangan ini mungkin disebabkan oleh kebaruan WhatsApp sebagai alat pembelajaran bagi individu yang lebih tua, yang sering menganggap platform ini sebagai piranti komunikasi pribadi ketimbang sebagai sarana media pembelajaran.

Misinformasi di Spanyol

Pentingnya kursus ini diperkuat oleh maraknya misinformasi di Spanyol, sama seperti yang terjadi banyak negara, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Universitas Navarra dan UTECA mengungkapkan bahwa 91% responden menganggap misinformasi sebagai ancaman terhadap demokrasi dan stabilitas nasional. 

Misinformasi, seringkali berasal dari media sosial dan disebarkan melalui platform seperti WhatsApp, dapat memengaruhi persepsi publik terhadap berita. Maraknya informasi hoaks, yang bercampur antara berita dan info asal-asalan, telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap media.

Baik Charo Sádaba, penulis utama penelitian, maupun Marilín Gonzalo, Kepala Kebijakan Publik di Newtral, menekankan peran organisasi media dalam membantu audiens yang lebih tua mengidentifikasi misinformasi. Mereka menganjurkan penyesuaian sederhana pada outlet berita, seperti huruf yang lebih besar di situs web dan video yang dibuat lebih singkat, untuk membuat konten lebih mudah diakses oleh individu yang lebih tua.

Upaya Bersama Melawan Misinformasi

Pada akhirnya, menurut kesimpulan penelitian, tanggung jawab untuk melawan misinformasi mesti dilakukan secara bersama oleh koalisi yang luas. Organisasi media, pemeriksa fakta, LSM, perusahaan teknologi besar, dan pemerintah semua memiliki peran penting dalam mengatasi masalah yang mendesak ini. 

Seperti yang disarankan oleh temuan dari kursus WhatsApp di Spanyol ini, bahkan upaya kecil pun dapat menciptakan dampak yang signifikan. Kunci kesuksesan terletak dalam kerjasama, pendidikan, dan memberdayakan semua generasi untuk menavigasi lanskap berita digital yang kompleks dengan percaya diri dan pemahaman yang baik. 

Penulis: Ahmadie Thaha, wartawan senior, pengasuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an.
Share: